Sunday, August 1, 2010

Catatan Awal Pekan - Saatnya DPR Berubah

 
Dua tahun lalu, tepatnya 6 Februari 2007, tulisan saya berjudul Cultural Clash BUMN-Parlemen dimuat harian ini. Dalam tulisan itu, saya memproyeksikan terjadi benturan atau perlawanan kalau DPR tetap saja mempertahankan tradisinya berorasi, menceramahi, memarahi, curiga, dan membodoh-bodohi direksi BUMN.

Proyeksi itu, 2 tahun kemudian, menjadi kenyataan saat PT Pertamina mengadakan perlawanan dan ditanggapi dengan marah oleh DPR.

Ini masih merupakan fenomena yang dapat menimbulkan konflik lebih besar, bahkan bisa menjadi krisis kalau tidak segera berubah. Kesadaran rakyat yang tidak ingin ditekan lagi oleh penguasa telah melebar ke mana-mana dan mereka yang menyandang kekuasaan dengan arogansi akan dilawan.

Apabila mereka tetap resisten dan tak berubah, mereka akan menghadapi kegetiran. Ini karena alam dapat menghancurkan mereka dengan krisis.

Heroisme dan amarah
Ratusan tahun silam, filsuf Plato pernah menulis, "Setiap orang bisa marah. Itu mudah sekali. Namun, marah pada orang yang tepat, dengan alasan yang dapat diterima, pada waktu yang tepat, dengan tingkat yang sesuai, tidak mudah."

Dengan kata lain, warna, bentuk, dan cara seseorang marah mencerminkan karakter dan kecerdasan seorang pemimpin. Amarah ada setelannya, seperti anda menyalakan radio atau televisi.

Anda memilih saluran, volume suara, kejelasan gambar, dan tentu saja lihat-lihat juga siapa yang boleh ikut menonton.

Hanya kanak-kanak yang tidak bisa memilih kapan, kepada siapa, dan bagaimana harus marah.

Belakangan ini, kita sering sekali melihat orang marah dan mudah tersinggung. Mau ganti direksi Pertamina saja, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa kali menyatakan amarahnya. Setelah direksi baru dipilih, gantian DPR yang marah-marah.

Di berbagai provinsi dan kabupaten, setiap kali kehendak suatu kelompok tidak terpenuhi, orang begitu cepat melampiaskan amarahnya tanpa kendali. Gagal menjadi gubernur, marah-marah.

Tidak menjadi rektor atau dekan, sama saja. Tidak ada bedanya dengan artis yang mau bercerai yang selalu diwarnai marah-marah. Kok jabatan-jabatan publik dan pemberitaan hanya diisi oleh kaum pemarah.

Anehnya, hampir semua orang yang marah-marah itu kalau ditanya, selalu punya alasan. Dalam ilmu karakter, alasan adalah sesuatu yang dibuat manusia untuk orang lain. Ia bukan cerminan koreksi diri atau kedewasaan.

Alasan yang saya sering dengar adalah "demi bangsa". Jadi, ada nuansa heroisme, yang seakan-akan sebuah bentuk pengorbanan untuk orang lain, yang kita sebut rakyat.

"There must be someone to be blame!," ujar Bill Clinton pada 2004. Korbannya tentu saja bukanlah sasaran yang tepat, tetapi the weak target.

Itulah yang terjadi di DPR, saat Pertamina melayangkan surat kepada dewan yang disambut oleh amarah bersama di Komisi VII. Ini jelas sebuah bentuk pelampiasan yang bertentangan dengan hukum amarah yang diajarkan Plato.

Saya bisa mengerti alasan teman-teman di DPR, yaitu adanya hantu mafia (yang tidak kunjung terlihat) yang diasumsikan telah membuat rakyat menderita. Meski begitu, assumption is the mother of confusion. Mungkin itulah maksud kata "bohir" yang sering disebut di DPR.

Kultur rusak parlemen
Sorotan publik terhadap DPR yang terkesan sangat kuasa dan arogan mencerminkan telah terjadi perusakan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh bangsa ini. Perusakan nilai-nilai yang berlangsung lama dapat membentuk kultur negatif yang tidak menguntungkan bagi kita semua.

Setiap kali menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) antara eksekutif dan DPR, saya selalu menyaksikan ucapan-ucapan yang tidak patut kita dengar. Selain materinya melebar, banyak wakil rakyat yang tidak menguasai masalah, hanya pandai berorasi.

Bila ucapannya dipotong sesama anggota, mereka cepat naik pitam. "Tolong dicatat, saya punya hak bicara yang dilindungi undang-undang dan tidak ada yang bisa membatasi saya", demikian antara lain ucap mereka.

Jadi, saya tidak merasa aneh mendengar sahabat saya Alvin Lie mengatakan "Presiden dan menteri saja tidak bisa mengatur kami."

Selain mudah tersinggung di antara sesama anggota DPR, sahabat-sahabat saya ini juga kurang cerdas dalam memilih kata-kata. Kata-kata keras digunakan dengan kesadaran bahwa tamu yang mereka undang tidak punya keberanian untuk melawan (karena begitu melawan mereka akan diinterupsi dengan nada tinggi). Mereka baru diam kalau tamu yang diomel-omeli itu pandai melawak.

Namun, tahukah para anggota DPR yang terhormat itu bahwa yang memanggil direksi BUMN bukan hanya komisi mereka? Hampir semua komisi bisa memanggil.

Dalam bulan ini, Pertamina harus memenuhi undangan dari setidaknya tiga komisi, yaitu Komisi VII yang membidangi energi, Komisi VI membidangi antara lain BUMN, Komisi XI yang membidangi antara lain anggaran, plus Pansus Hak Angket.

Tahukah Anda berapa lama masing-masing direksi BUMN mempersiapkan jawaban tertulis dan data-data untuk menghadiri RDP itu?

Dari survei kecil yang saya lakukan, sebagian besar CEO BUMN mengatakan menghabiskan 1 sampai 2 minggu untuk mempersiapkan data-data dan 1 minggu lagi untuk penyembuhan mental setelah keluar dari gedung DPR.

Kalau setiap bulan DPR memanggil direksi BUMN dengan cara-cara yang begini terus, ini berarti 3/4 waktu mereka hanya dipakai untuk melayani para politisi. Ini juga berarti sekitar 90% waktu mereka habis untuk mengurusi stakeholders (termasuk menteri teknis dan presiden).

Kesimpulannya sederhana daripada tidak efektif dan tidak bisa menyejahterakan bangsa, bubarkan saja BUMN, atau DPR, dan pemerintah berubah. Tegakkan tata tertib, atur RDP setahun sekali saja dan panggil menterinya saja, jangan direksi BUMN. Ini karena mereka sudah banyak yang mengawasi secara profesional dan misi yang kita bebankan kepada mereka sudah sangat berat.

Kultur yang rusak tidak ada manfaatnya sama sekali, kendati hal yang kita perjuangkan itu sangat penting dan menyangkut kepentingan yang luas. Selamat berubah dan belajarlah dari kejadian ini.

Oleh : Rhenald Kasali
Ketua Program Magister Manajemen FE-UI

(ragu utk memilih di Pemilu legislatif tahun ini, kalau hasilnya mengecewakan! suck!)

No comments:

Post a Comment