Sunday, August 1, 2010

Privatisasi VS Etatisme

KRISIS finansial di Amerika Serikat yang berimbas ke seluruh dunia telah menegaskan kembali pentingnya peranan negara dalam mengatur perekonomian. Yang selama ini menjadi dogma di negara kapitalis itu adalah negara tidak boleh mencampuri ekonomi, keuangan, perdagangan, dan sektor-sektor terkait sebab akan menghambat kesempurnaan sistem. Karena itu, harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis.

Akan tetapi, krisis besar di jantung kapitalisme itu telah membuktikan sebaliknya. Bahwa pasar bebas dan pemusatan kapital oleh institusi-institusi nonnegara ternyata telah menjerumuskan semua pihak ke dalam malapetaka ekonomi. Saat itu terjadi, negaralah yang justru harus turun tangan untuk menyelamatkan mereka semua.

Itulah yang tengah dilakukan Presiden Barack Obama terhadap sistem finansial dan perbankan swasta Amerika Serikat yang runtuh. Demi menyelamatkan seluruh perekonomian negara adidaya yang kapitalis itu, pemerintahan Presiden Obama menganggarkan dana US$787 miliar, antara lain untuk menalangi bank-bank dan lembaga keuangan swasta yang harga sahamnya jatuh menjadi kertas tak berharga. Terjadilah ironi terbesar dalam sejarah kapitalisme, bahwa negara, yang menurut ideologi kapitalisme tidak boleh campur tangan itu, harus menyuntikkan uang untuk menalangi kerugian masif yang dialami bank-bank besar seperti Citi Group, Bank of America, dan American International Group. Tak hanya itu. Paket stimulus besar-besaran juga digelontorkan untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan swasta di berbagai sektor riil.

Begitulah, yang sedang terjadi adalah arus balik dari privatisasi ke arah etatisme dalam hampir semua segi perekonomian. Inilah yang kecenderungan yang menempatkan kembali negara sebagai pusat segalanya. Suka atau tidak suka, etatisme pun lahir kembali di bagian paling sentral dari liberalisme dan kapitalisme.

Kecenderungan itu tidak hanya berlangsung di Amerika Serikat, tetapi juga di Eropa. Desakan yang meminta peningkatan peranan pemerintah pun mencapai level yang tidak terbayangkan dalam sejarah perekonomian kontemporer.

Fenomena itu jelas harus terus diikuti, dievaluasi, dikaji, dan dicermati para pengambil keputusan dan pemimpin Indonesia. Mengapa? Sebab yang terjadi di negeri ini justru sebaliknya. Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk meneruskan program privatisasi 20 BUMN kita. Dalam konteks kecenderungan global, langkah itu adalah sebuah anomali.

Etatisme yang terjadi di Amerika Serikat adalah sebuah pengakuan sejati atas kegagalan neokapitalisme dan neoliberalisme. Privatisasi adalah anak kandung itu semua. Mengapa pemerintah tidak mengkaji ulang jalan yang terbukti telah gagal itu? Bukankah beberapa program privatisasi BUMN yang telanjur dilakukan juga lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat? Karena itu, argumentasi bahwa penjualan 20 BUMN itu merupakan sebuah keharusan untuk menutup lubang APBN adalah alasan yang harus dibuang jauh-jauh.

Menguatnya tren etatisme di level global itu semestinya menjadi peluang untuk menyembuhkan kegelisahan atas pudarnya semangat nasionalisme kita. Inilah motivasi untuk menguatkan kembali peran-peran proporsional negara pada bidang-bidang seharusnya dan sepantasnya. Bukan sebaliknya, melempengkan jalan privatisasi yang membawa aset bangsa dijual murah kepada perusahaan asing dan negara lain.


Guys, gmana nih? I need some notes bout' this...

No comments:

Post a Comment