Showing posts with label Travel. Show all posts
Showing posts with label Travel. Show all posts

Thursday, January 10, 2013

I will keep our dreams in my safety box, heart.

Hi Supernova,

Lama tak jumpa. Bukannya saya lupa atau tak mau berjumpa denganmu, tapi tuntutan pekerjaan & obsesi terhadap dia yg cukup memakan waktu selama ini. Well, ada yg ingin saya diskusikan saat ini. Mari kita mulai diskusinya.

--

5 tahun. Ya, 5 tahun kurang lebih saya menjalaninya. Dimulai dari suatu ketidaksengajaan saat itu. Seperti yg selama ini kamu tahu, keinginan selalu membuat saya gagal, bukan gagal sih, tapi 'belum beruntung' lebih tepatnya. Dan moment 5 tahun lalu itu sebenarnya bukan kebetulan, karena seperti yg kamu katakan selama ini, alam semesta mendengar dan mengizinkannya. Ditambah dengan ketertarikan saya terhadap si gadis kecil, lucu, pintar dan menyenangkan itu.

Anggaplah saya dulu arrogant dan sombong. Saya bisa melalui semua itu dengan baik, bahkan utk sebuah jurusan dgn mata kuliah tersulit dan dosen super nazi, saya diberi imbalan nilai A, A+ malah karena diberikan standing ovation oleh mantan konsultan Boston Consulting Group itu. Memasuki akhir proses studi, saya masih bersama gadis itu, belajar dan mulai berbagi impian satu sama lain. Dari periode BCG - McKinsey, Unilever, Citra Pariwara, hingga kami bisa memasuki ruang sidang yg sama dan akhirnya lulus Cum Laude bersamaan. Hanya berselisih 1 nomor urut orang lain diatara kami, saya no 7 dan dia no 9. She decided to stay beside me. *[see the picture below]



Bermodalkan semangat dan impian, saya - anak ingusan sombong yg baru lulus itu menganggap dunia kerja di Jakarta akan dgn mudah ia lewati. Saya salah besar, karena tidak satu pun agency mau menerima saya pada saat itu, bahkan agency percetakan sekalipun ga mau kali yah.. haha! Sementara gadis manis itu, tanpa harus menganggur satu hari pun, ia langsung bekerja di sebuah multinational media agency ternama di Jakarta. Dunia kerja mengkhinati saya dengan relatifitas rumus (Kompetensi + Usaha) = Hasil. I was unemployment and she always stay beside me.

Intermezzo dikit, impian yg saya bangun saat itu sudah terlalu liar bahkan kata "New York" & "Expat" masuk dalam kamus impian itu. Jgn tanya kenapa, karena Pop Culture yg saya gandrungi saat itu bukan lagi Britpop atau Rock Alternative, tapi Donald Trump dan Alicia Keys. Itu sebabnya lirik "Oh New York, concrete jungle where dreams are made of..." sangat berarti bagi saya, sampai saat ini hingga kapan pun!

Universe mengizinkan saya utk pergi ke beberapa kota di Indonesia sbg pegawai freelance dgn gaji yg menyedihkan, untungnya itu terganti dgn fasilitas Garuda Indonesia dan hotel yg lumayan nyaman, plus trip gratis ke daerah2 menarik. Sementara si gadis menetapkan tujuan utk bisa mendapatkan Unilever. Dan ya, saya bangga akan dia. Bangga akan usaha dia bekerja dan tetap memberi semangat & kepercayaan, hingga akhirnya sebuah Digital Advertising Agency memberi kesempatan itu pada saya. I got a stepping stone, and she always stay beside me.

Belum lama saya belajar utk membuktikan diri, ia mendapatkan lebih dulu apa yg saya inginkan: being an expat, move to Singapore. And she always stay beside me, although we did a long distance relationship for a while. Kami memasuki periode baru, periode dimana kami menghabiskan waktu & uang bersama utk menikmati indahnya bumi ini. Sekaligus menjadikan "traveling around the world" bukan lagi sekedar Kartu Kesempatan pada permainan Monopoli.

Sebuah impian terbangun untuk sebuah peta dunia ukuran besar yg akan tertempel di ruang keluarga, lengkap dgn film polariod yg telah tercetak dan ter-pinned di setiap tempat yg telah kami kunjungi berdua. Ditambah dengan mini bar dipojok rumah utk menyajikan Apple Cidar, Wine dan sedikit Liquors beraneka ragam. Bahkan sepasang traveler pria-wanita tua yg sering kami temui di airport jika kami traveling, menjadi salah satu alasan kenapa mimpi itu wajib hukumnya bagi saya.




97% dari perjalanan kami bersama selama 5 tahun yg singkat ini, melalui suka-duka, manis-pahit, mudah-sulit; hingga proses pembelajaran dan pendewasaan; membuat saya berpikir sekaligus menambah keyakinan dlm diri saya akan sesuatu hal: dia adalah wanita tua itu. Wanita tua yg akan saya genggam erat tangannya utk mendaki pegunungan Peru demi mencapai puncak Machu Picchu, wanita tua yg akan saya selimuti tubuhnya karena dinginnya suhu Scandinavia, wanita tua yg akan saya bawa menjelajahi pulau Kreta dan melihat sejarah kota Athena, dan dia adalah wanita yg akan saya dampingi ketika beribadah di kota suci Mecca dan Medina.




----

Hi Supernova,

Cukup saya bercerita. Saya hanya ingin protes sekaligus bertanya, bukankah belajar itu adalah sebuah proses? Proses dimana kita bisa berubah, berubah menjadi lebih baik. Proses dimana logika dan hati bersama-sama mengalahkan ego? Saya tahu mungkin hal ini terlalu dini untuk ditulis, namun saya sadar bahwa usia tidak bisa menjamin tingkat kedewasaan seseorang, setidaknya bagi saya.

Sebuah alkisah ada sebuah bangsa yg hancur karena para pejabatnya yg korup dan lebih memilih jalan pintas utk mendapatkan hasil & tujuan ideal. Sehingga proses trial-error, serta testing & implementasi mereka acuhkan. Akhir hayatnya, bangsa itu sedih & menyesal karena selalu teringat pada proses yg dulu mereka lupakan.

Dan izinkan saya bertanya sekali lagi padamu, apa artinya sebuah hasil jika dia tidak memiliki proses? Karena saya yakin bahwa proses, merupakan sesuatu yg lebih bernilai dibanding hasil yg ingin dicapai.

Sometime it's not about the destination, it's about the journey.



Semoga ini bisa menjawab Teori Ayam yg selama ini mengganggu Sang Kupu-Kupu dengan proses metamorphosis-nya.



Sincerely,
. Larva

Monday, April 23, 2012

The Three Major of Cuisine Culture in Asia


In Singapore - a metropolis country with multi-ethnics and modern lifestyle, I found a hawker center with a bunch of people from three different races: Indian, Chinese and Malay, and I notice something really interesting. An Indian Prata seller was serving a Malay woman who was wearing a white jilbab, and right at the corner I saw an Indian who ordered a Hokian Mee for her son. That was a very interesting phenomenon for me at that moment. 

A year passed, I tasted a cuisine with unique flavors in a small food stall nearby Nai Yang beach, Phuket, Thailand. The dish called Tom Yum Goong, a typical seafood soup with sweet-sour-spicy taste. The strong taste and flavor, along with the thick sauce of that soup reminds me to Indonesian Soto and Singaporean Laksa. At that moment, I took a simple conclusion: these foods have the same root, and it also have a similar historical roots, in which then form a cultures in Asia.

Fortunately, in Bandung - Indonesia, in a restaurant named Chilli Padi, I met someone who is the chef at that place. He told me the story about three major categories of Asian cuisine. The categories may represent the races, group or ethnicity and also the tradition of Asian cuisine.

The first is known as the Southwest style, which includes cuisine from India, Pakistan and Sri Lanka. Having its roots in Persian-Arabian civilization, the eating of nan (flat bread) became widespread, along with mutton, kebabs (Turkish cuisine), and the use of hot peppers, black pepper, cloves and various other strong spices, along with ghee (butter oil). Curry also became a staple in this culture. Through the teaching of Hinduism, the cows are used only for dairy products and not for meat. In addition to rice, chapatti made from wheat or barley is also an essential part of cooking.

The second major is the Northeast traditions that consist China, Japan and Korea. This tradition emphasizes use of fats, oils and various sauces in cooking. In this culture, the foods, spices and seasonings go beyond being mere foodstuffs, as they are also used as medicines to support a long and healthy life, just like the use of ginseng and ginger in Korean and Japanese cuisine. In addition, the food is also associated with several religions traditions ‘cause in many Northeast Asian cultures, food is used as a symbolic offering to worship their God and ancestors.

The last major cuisine culture in Asia is the Southeast style, which includes Thailand, Laos, Cambodia, Vietnam, Indonesia, Malaysia and Singapore. The tradition emphasizes on the strong aroma and flavor, as well as the use of stir-frying, steaming and boiling method in every cuisine, supplemented with discrete spices and seasonings, including citrus and herbs such as basil, cilantro, celery and mint. If the Northeastern emphasizes the use of soy sauce in every cuisine, while the Southeast dishes use more of fish sauce with lemongrass and tamarind for additional flavor. Just like what I felt at Tom Yum, Laksa and Soto that I mentioned earlier.

Finally, in a conversation to Ha Long Bay, Vietnam – someone told me: "If you want to know more about a nation, just take a look at their cuisine". I didn’t really understand that statement at first, but the more I think about it and the more I reflect those phrases with my past journey to some countries in South East Asia, I started to believe that there are history and culture behind the food.

- Vietnamese Pho -

- Japanese Jigoku Ramen -

~ M


----//


Tiga Budaya Masakan Asia [Bahasa Indonesia version]


Di Singapura, sebuah negara multi-etnis, metropolis dan modern, saya menemukan sebuah foodcourt dengan sekumpulan orang dari 3 ras yang berbeda: India, China & Melayu. Disana terlihat seorang penjual Prata sedang melayani seorang Ibu melayu berjilbab, dan tepat dipojok sana ada seorang India yang memesan Hokian Mee untuk anaknya. Sebuah fenomena yang sangat menarik bagi saya pada saat itu. 

Setahun berlalu, saya mendapati sebuah masakan bercita-rasa unik di sebuah kedai dipinggir Nai Yang Beach, Phuket, Thailand. Masakan itu bernama Tom Yum Goong, sebuah sup seafood dengan rasa pedas-asam-manis yang khas. Rasa dan aroma yang sangat kuat serta kuah kental dari sup tersebut mengingatkan saya pada Singaporean Laksa dan Indonesian Soto. Pada saat itu, kesimpulan kecil saya ambil: makanan-makanan ini memiliki benang merah yang sama, yang berasal dari sebuah akar sejarah yang juga sama, yang kemudian membentuk sebuah kebudayaan di suatu bangsa. 

Beruntung, di Kota Bandung - Indonesia, di sebuah kedai bernama Chili Padi, saya bertemu sesorang teman yang sekaligus chef di tempat itu, dia bercerita tentang tiga kategori utama pada budaya masakan Asia. Ketiga kategori tersebut dapat mewakili sebuah kelompok, etnik atau ras, dan jenis masakan traditional Asia.

Pertama yang dikenal dengan Southwest style, yang termasuk masakan dari India, Pakistan, Sri Langka dan Burma. Memiliki akar dari perdaban Arab-Persia, pengkonsumsian nan (roti pipih) dengan daging kambing, kebab (masakan Turki), serta penggunaan cabai, merica hitam, cengkeh dan berbagai rempah yang kuat lainnya, bersama dengan ghee (minyak mentega). Kari juga menjadi hal pokok dalam budaya ini. Melalui ajaran Hindu, sapi digunakan hanya untuk olahan susu dan tidak untuk daging. Selain nasi, chapati yang terbuat dari gandum juga merupakan bagian pokok dari masakannya.

Budaya masakan Asia yang kedua adalah Northeast tradition, yang terdiri dari China, Korea dan Jepang. Tradisi ini menekankan penggunaan lemak, minyak dan berbagai saus dalam masakannya. Dalam budaya Northern, makanan, rempah-rempah dan bumbu dinilai lebih dari sekedar bahan masakan saja, karena mereka juga digunakan sebagai obat yang menunjang gaya hidup sehat untuk memperpanjang umur. Seperti halnya penggunaan ginseng dan jahe dalam masakan korea dan jepang. Selain itu, makanan juga terkait dengan beberapa tradisi keagamaan. Karena di banyak budaya di Asia timur, makanan digunakan sebagai persembahan simbolis untuk menyembah Tuhan dan nenek moyang.

Sedangkan budaya masakan Asia yang terakhir adalah Southeast style, yang termasuk di dalamnya Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Budaya masakan ini menekankan pada aroma dan rasa yang kuat, serta penggunaan metode menumis, mengukus dan merebus di setiap masakannya. Ditambah dengan penggunakan berbagai rempah dan bumbu, termasuk jeruk dan tanaman herbal seperti kemangi, ketumbar, seledri dan daun mint. Jika masakan Northreastern lebih menekankan penggunakan kecap kedelai dalam setiap masakannya, sementara di budaya southeast masakan lebih banyak menggunakan kecap ikan bersama dengan lengkuas, serai dan asam jawa untuk penambah rasa. Persis seperti apa yang saya rasakan pada Tom Yum, Laksa dan Soto yang saya sebutkan sebelumnya diatas.

Akhirnya, di sebuah percakapan menuju Ha Long Bay, Vietnam -  seseorang berkata pada saya: "Jika kamu ingin mengetahui tentang sebuah Bangsa, lihatlah dari masakannya". Pada awalnya saya tidak mengerti statement tersebut, namun setelah beberapa kali saya pergi & mencicipi makanan tradisional di beberapa negara Asia, akhirnya saya tahu bahwa ada sejarah & budaya dibalik makanan tersebut.


~ M

----//